Yosh.
Setelah ...bertahun-tahun menghilang dari berbagai blog, akhirnya sac kembali dengan membawa berita basi. Ya. Sac diterima di Universitas Indonesia, lebih tepatnya di Kimia FMIPA UI 2016!
Without further a due, let me continue on and spread my own awareness to this empty half dead blog.
Let's start PSAF #gtu
Penurunan Permukaan Tanah
Penurunan
permukaan tanah atau Land Subsidence menjadi topik yang mendebarkan di awal
tahun 2016. Salah satunya adalah berita mengenai amblesnya jalan tol di Jakarta
yang menggemparkan hampir setiap media masa yang ada dan semuanya merujuk pada
Penurunan Permukaan Tanah. Kejadian ini memberi tanggapan yang beragam dari
masyarakat, ada yang menganggap enteng dan beberapa terlihat begitu frantic. Sikap
apa,ya, sebaiknya yang diambil oleh seorang mahasiswa yang terpelajar? Tentunya
sebagai seseorang yang terpelajar, kita tidak bisa dengan mudah mengikuti crowd begitu saja. Dan sebagai
mahasiswa, kita harus bisa mengkritisasi kejadian ini. Maka dari itu, saya,
sebagai seorang mahasiswa, menuliskan essai ini sebagai penuturan

Selain
disebabkan oleh faktor kecerobohan dan keserakahan manusia, penurunan permukaan
tanah juga sebenarnya cukup umum terjadi secara alami, khususnya di daerah
dekat kutub, seperti Alaska, yang memiliki tebingan permafrost. Penurunan
permukaan tanah secara alami terjadi di daerah kutub. Di daerah kutub,
penurunan permukaan tanah secara alami disebabkan karena mencairnya permafrost
akibat pemanasan global atau yang lebih sering umum dikenal dengan sebutan ‘global warming’. Tanah di daerah kutub
memiliki komposisi yang cukup unik dimana air beku yang apabila cair akan
meningkatkan tinggi permukaan air laut global sebesar 3-5 cm. Air yang beku ini
menjadi kunci yang menjaga agar tanah menjadi solid selama ratusan bahkan
hingga ribuan tahun. Pada tahun 1880, sesuai yang dikutip dari NASA, suhu bumi
telah naik sebesar 1.7oF. Perubahan ini perlahan-lahan mencairkan locking system yang dibentuk oleh air
yang beku selama ratusan tahun bersama partikulat tanah menjadi cair yang
akhirnya melepas partikulat tersebut karena bergesernya titik berat batuan atau
dalam kata lain tidak ada gaya yang dapat melawan tarikan gravitasi terhadap
objek tersebut. Kejadian longsor yang disebabkan oleh penurunan secara
tiba-tiba di daerah permafrost ini umum terjadi di Eropa dan daerah dekat kutub
lainnya, seperti Alaska.
Dari uraian di
atas, kita tahu bahwa penurunan permukaan tanah dilfaktori oleh beberapa faktor
yang kita, sebagai seorang ilmuwan (scientist),
dapat atasi. Permasalahan utama seperti di Ibu Kota mengenai penggunaan air
tanah yang berlebih yang merupakan salah satu permasalahan yang menyebabkan
penurunan permukaan tanah.
Air tanah sebenarnya
hanya mengandung sebanyak 0.62% air di Bumi. Namun, untuk daerah padat penduduk
seperti di perkotaan yang jauh dari laut maupun air di permukaan tanah, air
tanah, dapat dikatakan sebagai satu-satunya sumber air. Dengan jumlah penduduk
yang terus berkembang secara eksponensial di perkotaan, air tanah yang ditarik
ke permukaan untuk keperluan sehari-hari pun semakin banyak. Padahal, air tanah
merupakan salah satu komponen penting yang menjaga struktur tanah; menjaga
tanah agar tidak ‘kopong’, dalam kata lain sebagai penjaga struktur di bawah
tanah.
Maka dari itu,
untuk mengatasi penurunan permukaan tanah yang disebabkan oleh ground water pumping, diperlukan untuk
dibentuknya sistem yang dapat mengurangi penggunaan air tanah. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber air lain dan juga mulai untuk
memanfaatkan atau dalam kata lain me-reuse
air limbah yang masih dapat digunakan. Sebagai scientist, kita seharusnya dapat mengembangkan alternatif lain dari
menggunakan air tanah. Seperti di Australia, telah diimplementasikan air minum
yang dibuat dari hasil desalinitas air laut. Di Indonesia, mungkin kita dapat
memanfaatkan air hujan, seperti memasang penampung air hujan di atas atap rumah
perkotaan dan kemudian memasukkannya ke suatu sistem yang menetralisir asam
dari air?
Sementara untuk
permasalahan penurunan permukaan tanah oleh permafrost, dapat kita atasi dengan
mengurangi jumlah karbon dioksida atau zat-zat polusi lainnya yang dapat
merusak equilibrium atmosfer yang
menyebabkan ketidak efektifan Bumi dalam menangkal sinar UV yang, jika dalam jumlah
banyak, dapat memberikan efek yang destruktif pada bumi. Kita dapat memulai
dengan membiasakan diri untuk mencoba hidup dengan cara yang ramah lingkungan,
yaitu Cara Hidup Hijau. Cara hidup yang hijau adalah cara hidup yang berpatokan
untuk mengurangi carbonal waste yang
dapat membahayakan kehidupan dalam jumlah banyak. Dan sebagai seorang scientist, kita dapat meneliti lebih
banyak lagi potensial bumi yang dapat digunakan sebagai alternatif dari
bahan-bahan yang berbahaya untuk alam dengan bahan yang ramah lingkungan.
Demikianlah
essay yang dapat saya tuliskan, semoga bermanfaat. Apabila ada kesalahan, mohon
maafkan saya karena kebenaran yang sejati hanyalah datang dari Allah SWT.
Terimakasih,
Azalea
Dyah Maysarah Satya, PSAF - PIKO
CHEMIST
–UI- 2016
Referensi :
- Drohan, J and C. Abdalla. 2000. Valuing Pennsylvania's Water Resources. Penn State College of Agricultural Sciences, University Park, PA.
- USGS dikutip dari
http://water.usgs.gov/edu/earthgwlandsubside.html
pada pukul 15.00 WIB, 27-September-2016
- NASA dikutip
dari http://climate.nasa.gov/ pada
pukul 14.00 WIB, 26-September-2016
- NSIDC dikutip
dari https://nsidc.org/cryosphere/frozenground/climate.html
pada pukul 15.00 WIB, 26-September-2016
No comments:
Post a Comment